Pontianak: Kasus dugaan korupsi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan Kantor Pusat Bank Kalbar segera memasuki babak baru. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Barat (Kalbar) memastikan proses hukum terhadap salah satu tersangka, anggota DPRD Kalbar berinisial PAM, akan segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
“Kalau yang PAM tinggal pelimpahan ke PN, yang lain sudah ditetapkan DPO,” kata Kasi Penkum Kejati Kalbar, I Wayan Gedin Arianta, saat dikonfirmasi, Selasa (8/4/2025).
PAM ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang terjadi pada tahun 2015 tersebut, berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor R-05/0.1/Fd.1/10/2024 tertanggal 28 Oktober 2024. Dia diduga menjadi pihak ketiga dalam transaksi pembelian lahan untuk Bank Kalbar, di mana terdapat selisih antara pembayaran yang dikeluarkan dan nilai yang diterima pemilik lahan yang sah.
Hingga kini, Kejati Kalbar masih mendalami peran sejumlah pihak lainnya yang turut terlibat dalam proses pengadaan tanah seluas 7.883 meter persegi itu. Dugaan korupsi tersebut telah diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Kalbar, yang mencatat kerugian negara mencapai Rp39 miliar dari total anggaran Rp99,1 miliar.
Plt. Kepala Kejati Kalbar, Subeno menyampaikan, selain PAM, terdapat tiga mantan pejabat Bank Kalbar yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Samsiar Ismail (mantan Direktur Umum 2015), Sudirman HMY (mantan Direktur Utama 2015), dan M. Faridhan (mantan Ketua Panitia Pengadaan 2015).
“Pada tahun 2015, Bank milik Pemerintah Daerah melaksanakan kegiatan pengadaan tanah untuk dibangun Kantor Pusat dengan total harga sebesar Rp99.173.013.750,” ucap Subeno, Senin (17/3/2025).
Namun, proses hukum terhadap ketiga mantan pejabat tersebut belum bisa dilanjutkan lantaran mereka tidak kooperatif dan mangkir dari panggilan penyidik. Kejati Kalbar pun telah menerbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap ketiganya pada Jumat (14/3/2025).
“Keterangan dari Ketua RT setempat menyatakan bahwa para tersangka sudah tidak berada di alamat,” kata Subeno.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
sumber: rri.co.id